PRAKATA


Tujuan utama reformasi adalah terjadinya perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih baik untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang maksimal. Namun demikian tanpa adanya sistem yang akuntabel  dan transparan maka hal tersebut tidak mungkin dapat tercapai. Salah satu upaya untuk menuju pada tataran Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah penerapan Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah pada pengelolaan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. 

Monday, May 26, 2008

Gagalnya Good Governance

3 FAKTOR PENYEBAB GAGALNYA PENERAPAN GOOD GOVERNANCE

Latar Belakang

Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk mewujudkan tata kelola Pemerintahan Yang Baik (good governance) akan tetapi hasilnya tidak sebaik yang diharapkan. Upaya tersebut menjadi semakin berat karena seringnya terjadi perubahan peraturan yang seharusnya bisa menjadi acuan. Peraturan yang terdahulu belum sepenuhnya diimplementasikan sudah dilakukan perubahan, dan hal ini seringkali menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah yang melaksanakannya. Efek lainnya, banyak pemerintah daerah menghabiskan sumber dana dan sumberdaya yang tidak sedikit, sementara ketersediaan sumber-sumber tersebut di daerah sangat terbatas. (Kita ingat sejarah lahirnya Kepmendagri 29 tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Permendagri 13 tahun 2006 dan terakhir direvisi kembali dengan Permendagri 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah). Kemudian PP 8 tahun 2003 tentang struktur organisasi perangkat daerah yang belum sempat dimplementasikan tetapi telah direvisi kembali dengan PP 41 tahun 2007, yang ternyata juga menimbulkan masalah terutama sinkrinisasinya dengan peraturan lainnya, misalnya dengan Permendagri 24 tahun 2006 tentang bentuk pelayanan terpadu satu atap).

Permasalahan

Dalam elaborasinya Tata kelola pemerintahan yang baik sebagai sebuah proses manajemen diawali dengan Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pelaporan/pertanggungjawaban. Jika dilihat dari proses ini maka setidaknya ada 3 hal besar yang menyebabkan perwujudan Good Governance menjadi tidak efektif, yaitu :
1. Gagal membentuk model perencanaan strategik yang baik. Fail to plan is plan to fail atau gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan akan menjadi acuan untuk melakukakn evaluasi. Jika rencana yang disusun buruk tentu tidak dapat diharapkan menghasilkan sesuatu yang baik.  Penyebab utama gagalnya perencanaan adalah :
  • Perencanaan yang disusun tidak berorientasi pada masa depan (menghasilkan dan menjadi apa?), tetapi masih berorientasi ke belakang (tahun lalu sudah membuat apa saja?)
  • Perencanaan yang disusun belum menunjukan keselarasan antara yang akan dicapai (visi dan misi) dengan program dan kegiatan yang dilaksanakan. Apalagi konsistensi antara perencanaan dari tahun ke tahun berikutnya. (keterkaitan RPJP, RPJM dan RKPD lemah).

2. Gagal menyusun Anggaran yang Berbasis Kinerja, walaupun pedoman penyusunan anggaran berbasis kinerja telah ditetapkan melalui Permendagri 13 tahun 2006 ternyata secara substansi pola penyusunan anggaran masih belum efektif. Penyebab utama adalah :
  • Belum adanya Standar Pelayanan Minimal dan Analisa Standar Belanja sehingga pengajuan Rencana Kerja Anggaran (RKA) cenderung boros dan tidak efisien.
  • RKA tidak dilengkapi target kinerja yang memadai dan akurat sehingga jumlah anggaran masih masih berpatokan pada besaran dana/input dan bukan pada capaian keluaran/output dan hasil/outcome.
  • Dampak yang ditimbulkan adalah APBD yang boros/tidak efisien atau gagalnya penyerapan APBD (SilPA yang tinggi) karena over budget.

3. Gagal membuat laporan yang akuntabel sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada shareholder dan stakeholder. Pada masa lalu pertanggungjawaban keuangan hanya terbatas pada informasi penyerapan anggaran saja. Sehingga di masa sekarang dengan perubahan paradigma baru pemda menjadi :
  • Sulit menyusun Laporan Keuangan yang sesuai Standar Akuntansi Pemerintah dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal tersebut disebabkan oleh pengelolaan aset daerah yang tidak tertib, lemahnya pengendalian intern serta pemahaman konsep akuntansi yang rendah (belum ada the best practice) dalam pengelolaan keuangan daerah.
  • Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang tidak menunjukan capaian kinerja yang sebenarnya. Seharusnya LAKIP menyajikan tingkat capaian kinerja setiap SKPD dan Lembaga yang ada. Sehingga dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur keberhasilan sekaligus alat evaluasi bagi satuan kerja perangkat daerah. Hal ini disebabkan oleh : pemilihan/penetapan indikator kinerja tidak tepat, sistem pengumpulan database daerah tidak terstruktur. Oleh karena LAKIP hanya berisi capaian realisasi atas target kinerja yang ditetapkan/dihitung pada saat laporan disusun, dengan  nilai realisasi dan rencana disamakan maka hasil capaiannya selalu 100%. Sehingga data yang tersaji tidak akuntabel dan tidak dapat memberikan umpan balik untuk perbaikan kinerja kedepan.
 

Sunday, May 25, 2008

Mencegah Borosnya Anggaran

MENCEGAH PEMBOROSAN dengan ANGGARAN BERBASIS KINERJA

Sejak Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 ditetapkan, di dalam ketentuan tersebut tertuang konsep penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. Demikian pula ketika Permendagri nomor 13 tahun 2006 lahir sebagai pengganti Kepmendagri 29,ditegaskan kembali keharusan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dengan berbagai perbaikan. Contoh perbaikan tersebut adalah pemindahan kelompok belanja administrasi umum yang semula dikategorikan sebagai belanja tidak langsung ke dalam belanja langsung. Hal ini mengandung arti bahwa ada keharusan belanja yang semula tidak memerlukan indikator kinerja yang terukur, menjadi harus terukur. Meskipun belanja administrasi umum merupakan bagian belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan kantor yang bersifat rutin maupun pos berjaga-jaga atas aktivitas operasional yang insidentil. Dengan dialihkan kelompok belanja tersebut menjadi bagian belanja langsung maka kebebasan untuk menganggarkan dalam jumlah yang tidak rasional menjadi sulit, karena keharusan adanya penetapan target kinerja dengan indikator terukur seperti belanja langsung yang lain.
Pasal-pasal dalam batang tubuh Permendagri nomor 13 tahun 2006 merupakan penjabaran ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standart Akuntansi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Sebagai peraturan pelaksana yang baru, Permendagri nomor 13 tahun 2006 ditetapkan dengan maksud untuk memperbaiki kelemahan yang ada pada peraturan sebelumnya. Sehingga dalam implementasi ketentuan ini diharapkan dapat terwujud the best practice tata kelola keuangan daerah. The best practice tersebut meliputi pelayanan yang efisien (tidak boros dana dan waktu), taat azas serta lebih akuntabel. Untuk mencapai hal tersebut tentu dibutuhkan adanya komitmen yang tinggi dari para pengelolaaan keuangan daerah. Instrumen yang digunakan tidak hanya perubahan format anggaran atau dokumen yang digunakan, tetapi mencakup dasar-dasar utama penyusunan anggaran dengan orientasi hasil (output/outcome) yang nyata dan terukur. Dengan pendekatan kinerja penyusunan anggaran menjadi terukur, baik volume, satuan dan standart harga yang dipakai, sehingga dapat mencegah markup/penggelembungan biaya.
Dalam unjuk kerja ABK merubah pola pikir dari pertangungjawaban anggaran (baca ; SPJ) berdasarkan tolok ukur penyerapan dana (input) kepada pengukuran kinerja berdasar indikator hasil (output/outcome). Metode pengukuran dengan indikator input, cenderung mendorong satuan kerja menghabiskan anggaran dan berlaku boros, sedangkan pengukuran dengan indikator output/outcome, dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas karena dengan semakin hemat sumber daya yang digunakan dengan tingkat output yang sama maka capaian kinerjanya(baca ; kemanfataannya) menjadi semakin tinggi.
Penyusunan ABK berhulu pada perencanaan stratejik . Adapun dokumen yang disusun mencakup Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang mengerucut ke dalam Prioritas Plafon Anggaran daerah (PPA), dan dokumen APBD. Sebagai proses hilir adalah penyusunan pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran berupa Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
Jika ditelaah dengan teliti nampak adanya sikap setengah hati pada penerapan pengelolaaan keuangan daerah berdasar Permendagri nomor 13 tahun 2006. Sikap ini didasari oleh faktor ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkannya secara sungguh-sungguh, hal tersebut terjadi karena banyak pemerintah daerah belum memiliki SDM yang memadai terutama yang berlatar belakang pendidikan akuntansi. Disamping itu perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah yang semula bersifat sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi desentralisasi pada pengguna anggaran (baca : satuan kerja perangkat daerahSKPD), ternyata menimbulkan dampak yang luas. Antara lain perubahan struktur organisasi pengelola keuangan dalam pelaksanaan penatausahaan keuangan baik di tingkat pemda maupun satuan kerja. Demikian juga kesiapan aparat pengawasan intern (baca : badan pengawas daerah) dalam mengawal pelaksanaan anggaran juga perlu dibenahi kemampuannya dalam mengendalikan pelaksanaan anggaran di daerah.
Akhirnya kita semua berharap penerapan ABK sesuai Permendagri nomor 13 tahun 2006 tidak berhenti pada tataran formalitas saja, tetapi sampai pada tataran substansi yang menghasilkan format anggaran yang terukur, efisien dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan keterukuran maka pemborosan dapat dicegah dan dieliminir. Walaupun untuk mewujudkan hal tersebut merupakan kerja besar dan berat tetapi melalui upaya yang sungguh-sungguh dan niat yang tulus semoga hasil yang dicapai adalah praktek terbaik (the best practice)dalam tata kelola keuangan daerah menuju Tata Pemerintahan yang Baik, bersih dan Bebas KKN.

Selamat ber ABK.


Powered By Blogger