PRAKATA


Tujuan utama reformasi adalah terjadinya perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih baik untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang maksimal. Namun demikian tanpa adanya sistem yang akuntabel  dan transparan maka hal tersebut tidak mungkin dapat tercapai. Salah satu upaya untuk menuju pada tataran Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah penerapan Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah pada pengelolaan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. 

Wednesday, July 29, 2009

AKUNTABILITAS OTONOMI DAERAH

Good Local Governance Melalui Otonomi Daerah

Implementasi dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah menumbuhkan paradigma baru terhadap pola manajemen pemerintah daerah. Melalui peraturan ini dimulailah era pemerintahan desentralisasi dan diawalinya era otonomi daerah.
Melalui otonomi diharapkan dapat membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi daerah dengan rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya social order. Disamping itu otonomi juga memberikan peluang bagi persaingan sehat antar daerah, tentu saja dengan jaring-jaring pengaman bagi tercapainya persyaratan minimum bagi daerah-daerah yang dipandang masih belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu level of playing field.
Otonomi memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah tetapi, tanpa kontrol yang memadai akan cenderung menyebabkan tindakan moral hazard dengan lebih berusaha untuk mengakumulasi kekayaan melalui sistem gaji dan benefit lainnya. Implikasi negatif terhadap berbagai sektor lain seperti infrastruktur dan fasilitas publik secara kuantitas dan kualitas tidak dapat ditanggapi secara maksimal oleh masyarakat lokal, sedangkan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi secara langsung ke daerah. Kewenangan yang besar tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang memdai ternyata berdampak pada fenomena moral hazard dalam bentuk korupsi. Menurut data yang dirilis oleh ICW tahun 2007 data korupsi di Indonesia yang terbesar justru terjadi di level pemerintah daerah.
Walaupun telah mencapai masa 9 (sembilan) tahun, ternyata masih banyak daerah yang ketinggalan dan belum dapat menyesuaikan diri dalam konsepsi otonomi daerah yang ideal. Dengan adanya desentralisasi kewenangan, yang nampak jelas baru pada tahap alokasi APBN yang semakin bertambah karena makin banyaknya daerah yang dimekarkan. Disamping itu dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2007 atas kinerja pemerintah daerah, dari responden yang ada di 33 ibukota provinsi di Indonesia menunjukan hasil yang mencengangkan, yaitu 83,8 % responden menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kondisi perekonomian, dan 52 % merasa bahwa belum ada perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo), dalam pemaparannya pada Regional Forum on Reinventing Government In Asia, 2007, mengatakan bahwa untuk menciptakan Pemerintahan Lokal yang Lebih Baik khususnya pada Pemerintah Provinsi Gorontalo dilakukan langkah-langkah yang berfokus pada :
1. Peningkatan Kapasitas SDM,
2. Peningkatan Kapasitas Keuangan/Pembiayaan
3. Peningkatan Kapasitas Teknologi Infromasi
4. Peningkatan Kapasitas Sistem

Menarik kesimpulan dari langkah yang telah ditempuh (the best practice) serta pendapat para pakar, dalam upaya untuk mewujudkan GLG, setidaknya ada 2 (dua) tahapan besar yang harus ditempuh yaitu :

Pertama : Meningkatkan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Di daerah,
Penanganan Pengembangan Sumber Daya Manusia (biasanya Bagian Kepegawaian atau Badan Kepegawaian daerah) harus berdasarkan informasi yang memadai mengenai pemetaan kekuatan SDM yang ada. Pemetaan ini meliputi knowledge (tingkat pendidikan), dan kompetensi (skill) para pegawai, manfaatnya agar dapat dilakukan penataan dan penempatan yang sesuai dengan keahlian (the right man on the right place). Mencontoh langkah yang diambil oleh Fadel Muhammad, peningkatan kapasitas SDM dalam rangka melakukan reformasi pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :
a. Melakukan strategi jangka pendek, outsourcing, guna mengatasi kekurangan SDM yang berkeahlian tertentu.
b. Dalam jangka panjang melakukan rekruitment SDM berkeahlian sesuai kebutuhan dan mengirim pegawai yang potensiil untuk menjalani pendidikan lebih tinggi sesuai kebutuhan.
c. Menciptakan reward system berupa Tunjangan Kinerja Daerah untuk menghilangkan sistem bonus proyek, sehingga insentif ini lebih adil dan transparan.
d. Memberikan sanksi (punishment) yang tegas bagi pegawai yang melanggar aturan.

Kedua : Meningkatkan Manajemen Pemerintahan, dengan tahapan sebagai berikut :
1. Perencanaan Pembangunan Daerah
Fail to Plan is Plan to Fail artinya ketika kita gagal membuat rencana maka sama dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan yang dimaksud dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kinerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai rencana operasional tahunan. Langkah yang ditempuh dapat menggunakan pendekatan startegic planning orientation by SWOT analisys.

2. Penganggaran Daerah,
Penganggaran daerah identik dengan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan konsep value for money (VFM), pengelolaan anggaran memerlukan prioritas, terutama menyangkut aspek rencana anggaran, aspek akuntansi, dan aspek pemeriksaan. Konsep VFM dapat menjamin dikelolanya uang rakyat secara ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel yang akhirnya dapat mewujudkan akuntabilitas publik yang memadai. Dengan demikian perlu dikembangkan pola penyusunan rencana anggaran (APBD) yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat di daerah (pro poor budgeting).
APBD pada dasarnya memuat rencana keuangan yang dihasilkan dan digunakan oleh pemerintah daerah, dalam rangka melaksanakan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelayanan umum selama satu tahun anggaran. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD., setiap alokasi biaya yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau target hasil yang diharapkan. Sehingga prinsip dasar yang digunakan dalam menentukan besaran anggaran yang dibutuhkan daerah adalah prinsip fungsi ditetapkan dahulu, baru diikuti oleh penetapan besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk urusan wajib atau pilihan terkait (finance follows function).

Struktur APBD sesuai ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 22, terdiri dari :
1) Anggaran Pendapatan
a. Pengembangan potensi daerah terutama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Pada dasarnya, suatu daerah akan menjalankan fungsinya secara baik jikalau memiliki PAD yang tinggi. Sehingga daerah tersebut dapat leluasa dan mandiri menentukan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat setempat. Namun demikian, sumber-sumber PAD yang terdiri dari Pajak, Retribusi, Hasil perusahaan milik daerah, dan PAD lain yang sah , secara umum relatif masih kecil. Jadi upaya yang diperlukan adalah mengembangkan potensi yang ada di daerah untuk menjadi sumber PAD, melakukan perencanaan dan administrasi pemungutan sehingga tidak menimbulkan ironi “besar pasak daripada tiang”, dan terakhir melakukan pengawasan yang efektif untuk mencegah kebocoran.

b. Mengelola Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat dengan optimal.
Selama jumlah PAD belum memadai untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah sendiri, maka Pemerintah Pusat memberikan dana perimbangan. Dana Perimbangan terdiri dari :
i. Dana Bagi Hasil
ii. Dana Alokasi Umum (DAU),
iii. Dana Alokasi Khusus (DAK),

2) Anggaran Belanja
Secara fakta setiap terjadi prosesi penyusunan APBD titik sentral pembahasan lebih berat pada struktur anggaran belanja. Setiap unit kerja lebih tertarik membahas besaran porsi anggaran belanjanya daripada pokok bahasan “apa yang akan dihasilkan (baca kinerja) atas pengeluaran anggaran tersebut ?’. Disamping itu pola pikir bagaimana menghabiskan (menyerap 100%), lebih berkembang daripada pola pikir menghasilkan sesuatu secara optimal atas penggunaan sumber dana (input) yang sangat terbatas ini. Sehingga eksplorasi lebih lanjut dan fungsi utama dari belanja yaitu Fungsi Alokasi, Distribusi dan Stabilisasi menjadi terabaikan.

3) Anggaran Pembiayaan
Timbulnya komponen Anggaran Pembiayaan dalam APBD merupakan konsekuensi atas dianutnya sistem anggaran surplus/defisit. Estimasi Pembiayaan adalah cerminan dari strategi menutup defisit atau surplus yang diperkirakan terjadi dalam tahun anggaran berjalan.

3. Pelaksanaan Program dan Kegiatan,
Sebagai implementasi dari rencana anggaran pelaksanaan kegiatan adalah langkah untuk mewujudkan segala sesuatu yang telah direncanakan. Dalam tahap ini hal yang perlu menjadi fokus adalah mengendalikan agar pelaksanaan tersebut mentaati dan tunduk pada ketentuan yang berlaku, sekaligus menjaga agar keluaran dan hasil yang diperoleh sesuai dengan target kinerja yang telah ditetapkan.


4. Penatausahaan dan pembukuan
Ketentuan mengenai tatacara penatausahaan dan pembukuan anggaran telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006, termasuk rincian detail berupa sistem dan prosedur yang diatur sesuai Surat Edaran nomor 900/316/BAKD tanggal 5 Juli 2007 tentang Pedoman Sistem Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada dasarnya seluruh ketentuan yang ditetapkan adalah untuk mengatur agar proses yang terjadi dapat berjalan dengan tertib.
Penggunaan sangat dianjurkan , dengann sasaran , sebagai berikut :
1. Kemudahan bagi pelaksanaan administrasi, penatausahaan dan pembukuan keuangan daerah
2. Kemudahan dan kecepatan pengolahan informasi keuangan guna pengambilan keputusan strategis.
3. Kecepatan ketersediaan data yang tejaga kemutakhirannya
4. Keamanan data lebih terjaga .

Disisi lain karena kemudahan yang ditawarkan oleh penggunaan TI, yaitu melalui otomatisasi proses dapat digunakan untuk mengatasi kendala terhadap lemahnya pemahaman konsep-konsep akuntansi dan keuangan pada SDM yang ada di pemerintah daerah.

5. Pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel.
Dalam mewujudkan akuntabilitas publik, pemerintah daerah tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu melapor ke pemerintah pusat, tetapi juga horizontal reporting, yaitu melaporkan kinerjanya kepada masyarakat dan partisipan daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 diwajibkan bagi daerah untuk membuat laporan yaitu :
a. Laporan Keuangan
Sesuai PP 24 tahun 2005 dinyatakan bahwa Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah selama suatu periode, yang terdiri dari :
1. Neraca Daerah
2. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
3. Laporan Arus Kas (LAK), dan
4. Catatan Atas Laporan Keuangan (CaLK)

b. Laporan Kinerja
Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD. Laporan kinerja membutuhkan sistem pengukuran kinerja dan untuk dapat mengukur keberhasilan suatu fungsi pemerintahan diperlukan global measure sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban kebijakan pemerintah daerah.

Simpulan
Sampai saat sekarang belum ditemukan the best practice yang ideal atas implementasi GLG. Namun demikian upaya untuk meng-elaborasi-kannya tidak boleh surut agar proses learning berjalan secara by doing .Upaya utama yang harus ditempuh secara simultan adalah Pemerintah Daerah harus mengupayakan peningkatan kapasitas SDM (Human Resources), membenahi manajemen pemerintahan di daerah agar mencapai tatanan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, dan meningkatkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi (TI) untuk mendukung percepatan pelaksanaan pengelolaan administrasi dan birokrasi.

No comments:

Powered By Blogger