PRAKATA


Tujuan utama reformasi adalah terjadinya perubahan tata kelola pemerintahan yang lebih baik untuk terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang maksimal. Namun demikian tanpa adanya sistem yang akuntabel  dan transparan maka hal tersebut tidak mungkin dapat tercapai. Salah satu upaya untuk menuju pada tataran Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah penerapan Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah pada pengelolaan pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di daerah. 

Sunday, November 28, 2010

AKUNTABILITAS PERENCANAAN DALAM APBD


Walaupun Permendagri 13 tahun 2006 telah mengatur tahapan penyusunan APBD dengan cukup rinci namun ada beberapa hal yang sering terabaikan dalam pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam proses perencanaan APBD. Seharusnya rencana yang dituangkan dalam APBD merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang terukur nilainya dengan target kinerja yang jelas. Karena hal tersebut merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.
Fail to plan is planning to fail (Alan Lakein). Gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Daerah telah gagal mewujudkan kewajibannya, berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya bahkan sejak kegiatan tersebut baru diawali.


Beberapa permasalahan pokok yang penting di catat adalah, sebagai berikut:
1. Anggaran belanja ditetapkan tidak untuk mencapai target tetapi untuk dihabiskan.
Dalam setiap pembahasan anggaran yang dibahas dengan bersemangat biasanya hanya besaran uang (input) dan bukan target kinerja (output/outcome)yang akan dicapai. Hal tersebut nampak biasanya dari "tidak pernah dibahas dengan seksama" oleh tim anggaran adanya target output, apalagi target outcome dari kegiatan terkait. Padahal target tersebut merupakan kunci untuk dapat menghitung tingkat efisiensi maupun efektivitas kegiatan tersebut. Dalam banyak form Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang diajukan dinas/instansi tidak dicantumkan targetnya alias kosong atau kalaupun ada isi hanya sekedar formalitas dengan satuan yang tidak tepat ukur(misal ; berapa kali kegiatan, berapa paket atau berapa bulan). Sehingga berapapun besaran anggaran yang disediakan akan selalu habis dan capaian kinerja selalu 100% karena indikatornya tidak merujuk obyek atau target yang akan di jadikan sasaran akhir kegiatan.
2. Relevansi Perencanaan antar satuan kerja belum menunjukan integrasi pencapaian tujuan akhir dari APBD.
Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi seharusnya dilakukan antar satuan kerja. Hal ini sangat penting karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) suatu kegiatan menuju visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain, karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, satuan kerja cenderung tidak fokus dan tidak terarah dalam operasionalnya sehingga pada akhirnya beroperasi secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan inefisiensi dan inefektifitas.
Padahal sebenarnya penetapan target di tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota dapat merujuk kepada target yang ditetapkan sesuai keputusan menteri dengan Indikator Kinerja Utama yang mencakup keberadaan indikator utama bagi 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan.
3. Penyusunan Program/Kegiatan tidak menjawab permasalahan dan/atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi.
Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya.
Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.
4. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih terbatas pada penyerapan dana.
Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja.
Tanpa pertanggungjawaban yang lebih akuntabel tersebut, perbaikan kinerja satuan kerja tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.
Dampak dari permasalahan tersebut adalah sulitnya menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), dan jika disusun hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban tanpa substansi utama berupa tingkat capaian kinerja yang dapat direalisasikan sebagai imbalan atas dihabiskannya anggaran dan adanya umpan balik atas kegagalan pencapaian guna perbaikan strategi di masa yang akan datang.


Powered By Blogger