tag:blogger.com,1999:blog-10779631270522112902023-06-20T21:53:43.544-07:00AKUNTABILITAS INSTANSI PEMERINTAHTEMPAT TUKAR PIKIRAN BAGI PEMERHATI MASALAH SISTEM AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH DAN SISTEM AKUNTANSI KEUANGAN DAERAHandreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.comBlogger9125tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-34318803007561932422011-07-04T01:29:00.000-07:002012-08-13T01:34:35.087-07:00AKUNTABILITAS PELAPORAN<div align="justify">
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span style="font-size: 16pt;">NYUSUN LAKIP ITU GAMPANG</span></b><b><span style="font-size: 14pt;"> ...<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="background-color: white; background-position: initial initial; background-repeat: initial initial; font-size: 14pt;">Pada banyak kesempatan ketika saya sedang mengampu
kelas-kelas di satuan kerja dilingkungan pemerintah daerah, sering ditanyakan
pertanyaan-pertanyaan yang bernada sama, yaitu ; kenapa menyusun Laporan
Akuntabilitas Instansi Pemerintah (LAKIP) itu sulit sekali ?.</span><span style="font-size: 14pt;"><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Oleh
karena itu pada kesempatan ini saya mencoba menjelaskannya dalam dua versi
sebagai berikut :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span style="font-size: 14pt;">JAWABAN
VERSI PENDEK</span></b><span style="font-size: 14pt;"> <span style="background: white;">:</span><o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Laporan
Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) adalah sebuah laporan. Seperti halnya
laporan yang lain LAKIP merupakan produk akhir dari sebuah proses yang disebut
dengan Sistem AKIP, yaitu sebuah sistem yang secara tahunan berawal dari
penyusunan rencana kinerja (RKT/Tapkin), pelaksanaan kegiatan, pengukuran
kinerja dan pelaporan kinerja /LAKIP. Sebenarnya isi dari LAKIP sama seperti
laporan-laporan yang lain yaitu berisi data rencana dibandingkan dengan data
realisasi. Data realisasi dapat diperoleh dari selesainya kegiatan, namun jika
data rencana tidak pernah dibuat maka menjadi sulit untuk menyusun LAKIP yang
baik. Seperti mencari sesuatu yang tidak pernah ada, apalagi mau
dibandingkan...Yang terjadi berikutnya adalah jika si penyusun tidak mau pusing
dengan LAKIP ini maka data nilai rencana disamakan dengan data realisasi
kinerja, sehingga capaian menjadi (selalu) = 100%, dan akhirnya laporan ini
hanya disusun sekedar untuk menggugurkan kewajiban saja.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<b><span style="font-size: 14pt;">JAWABAN
VERSI PANJANG</span></b><span style="font-size: 14pt;"> :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Sesuai
PP 8 tahun 2006 tentang penyusunan laporan keuangan dan laporan kinerja setiap
instansi pemerintah diwajibkan menyusun dua laporan tersebut. Jika laporan
keuangan dihasilkan dari penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah (SAKD)
dengan berpedoman pada Permendagri 13 tahun 2006 dan PP 71 tahun 2010 tentang
Standar akuntansi Pemerintah (SAP) maka LAKIP juga merupakan laporan yang hanya
dapat disusun jika sistem yang seharusnya diterapkan yaitu Sistem Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dijalankan dengan baik dengan berpedoman
kepada Inpres 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
dan pedoman penyusunan LAKIP yaitu PerMenpan nomor 29 tahun 2010.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Jadi
bagian manakah pelaksanaan pemerintahan yang merupakan Sistem AKIP ? atau
apakah sistem ini merupakan bagian yang terpisah dari praktek pemerintahan?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Jawabannya
adalah tidak, karena sesungguhnya Sistem AKIP merupakan bagian yang telah
teritegrasi dalam sistem yang telah dijalankan selama ini namun perlu
kecermatan untuk mengidentifikasinya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Dalam
Permendagri 13 tahun 2006 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, dalam
pasal-pasalnya disebutkan adanya keharusan menyusun RPJP, RPJMD, Renstra, Renja
SKPD dan indikator kinerja. Sementara itu dalam ketentuan yang mengatur perihal
LAKIP sendiri telah diterbitkan secara bertahap sejak penetapan Inpres 7 tahun
1999 sampai dengan Permenpan 29 tahun 2010.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Proses
lengkap yang benar menurut ketentuan-ketentuan tersebut adalah :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">1.Menyusun
perencanaan jangka panjang dengan masa dua puluh tahun berupa Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD),<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">2.Menyusun
perencanaan jangka menengah dengan masa lima tahun berupa Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk tingkat daerah kabupaten/kota dan Renstra
SKPD untuk dinas/kantor dan badan yang menurut ketentuan Permenpan 9 tahun 2007
harus disertai dengan penetapan Indikator Kinerja Utama (IKU) serta target yang
akan dicapai selama masa tersebut,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">3.Untuk
masa satu tahun berjalan agar rencana tersebut lebih operasional disusunlah
rencana kinerja tahunan atau disebut Penetapan Kinerja (TAPKIN). Substansi
utama Tapkin adalah penetapan target dari IKU yang di-<i>breakdown</i> sesuai
program dan kegiatan yang disepakati pembiayaaannya lewat penetapan APBD.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">4.Setelah
dokumen-dokumen tersebut ditetapkan, kemudian dalam tahun berjalan seluruh
program dan kegiatan dilaksanakan maka pada akhir tahun anggaran diperoleh data
atas realisasi dari capaian target yang direncanakan sebelumnya. Sehingga
dengan membandingkan data rencana kinerja dengan data realisasi kinerja atas
pelaksanaan program dan kegiatan dapat dituangkan dalam laporan yang kita sebut
sebagai LAKIP.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">Sebagai
catatan agar lebih memudahkan penyusunan LAKIP yang cukup informatif dan
berkualitas dari sebuah proses implementasi sistem AKIP, ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yaitu :<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt;">
<span style="font-size: 14pt;">· Dalam
proses penyusunan RPJMD dan atau Renstra SKPD perlu ditetapkan IKU. Penetapan
IKU ini akan memberikan panduan agar keselarasan program/kegiatan dan antar
SKPD dapat dilakukan dengan mudah. Untuk memudahkan penetapan indikator kinerja
dapat dilihat referensi terkait penetapan standar pelayanan minimal (SPM) untuk
masing-masing urusan (26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan), yaitu sebagai
berikut :<o:p></o:p></span></div>
<ul type="disc">
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permenkes
nomor 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal bidang
kesehatan di Kabupaten/kota dan Kepmenkes 828/MENKES/SK/2008 tentang
juknisnya,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permendiknas
nomor 15 tahun 2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permeneg
Lingkungan Hidup nomor 19 dan 20 tahun 2008 tentang SPM Lingkungan Hidup
dan juknisnya<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permendagri
nomor 62 tahun 2008,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permensos
nomor 129/HUK/2008,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Perumahan rakyat nomor 22/PERMEN/M/2008,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permeneg
Pemberdayaan Perempuan nomor 01 tahun 2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Pekerjaan Umum nomor 14/PRT/M/2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor 15/MEN/X/2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Pertanian nomor 65/PERMENTEN/OT.140/12/2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Infokom nomor 22/PER/M.KOMINFO/12/2010,<o:p></o:p></span></li>
<li class="MsoNormal"><span style="font-size: 14.0pt; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Permen
Pariwisata dan Kebudayaan nomor PM.106/HK.501/MKP/2010.<o:p></o:p></span></li>
</ul>
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 0cm;">
<span style="font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Penetapan IKU yang tepat memungkinkan
keterukuran hasil dari setiap program atau kegiatan dilaksanakan, karena IKU
merupakan upaya mengkuantifikasikan hasil suatu capaian bahkan untuk program
maupun kegiatan yang bersifat kualitatif. IKU yang baik juga akan membantu
penterjemahan kesamaan persepsi tercapai atau tidaknya tujuan akhir dari program maupun kegiatan yang telah
dilaksanakan.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 0cm;">
<span style="font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Setelah IKU ditetapkan beserta dengan
Tolok Ukur dan satuan ukuran yang sesuai maka akan semakin mudah pembandingan yang akan
dilakukan secara periodik yang pada akhirnya akan <b>mempermudah </b>penyusunan LAKIP secara keseluruhan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 35.45pt;">
<br /></div>
</div>
andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-20146140790258662512010-11-28T06:05:00.000-08:002011-07-04T01:28:46.404-07:00AKUNTABILITAS PERENCANAAN DALAM APBD<div align="justify"><br />Walaupun Permendagri 13 tahun 2006 telah mengatur tahapan penyusunan APBD dengan cukup rinci namun ada beberapa hal yang sering terabaikan dalam pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam proses perencanaan APBD. Seharusnya rencana yang dituangkan dalam APBD merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang terukur nilainya dengan target kinerja yang jelas. Karena hal tersebut merupakan inti dari kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.<br /><em>Fail to plan is planning to fail (Alan Lakein). </em>Gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan pelaksanaan Pemerintahan Daerah. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Daerah telah gagal mewujudkan kewajibannya, berupa peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya bahkan sejak kegiatan tersebut baru diawali.<br /><br /><FONT class="fullpost"><br />Beberapa permasalahan pokok yang penting di catat adalah, sebagai berikut:<br />1. Anggaran belanja ditetapkan tidak untuk mencapai target tetapi untuk dihabiskan.<br />Dalam setiap pembahasan anggaran yang dibahas dengan bersemangat biasanya hanya besaran uang (input) dan bukan target kinerja (output/outcome)yang akan dicapai. Hal tersebut nampak biasanya dari "tidak pernah dibahas dengan seksama" oleh tim anggaran adanya target output, apalagi target outcome dari kegiatan terkait. Padahal target tersebut merupakan kunci untuk dapat menghitung tingkat efisiensi maupun efektivitas kegiatan tersebut. Dalam banyak form Rencana Kerja Anggaran (RKA) yang diajukan dinas/instansi tidak dicantumkan targetnya alias kosong atau kalaupun ada isi hanya sekedar formalitas dengan satuan yang tidak tepat ukur(misal ; berapa kali kegiatan, berapa paket atau berapa bulan). Sehingga berapapun besaran anggaran yang disediakan akan selalu habis dan capaian kinerja selalu 100% karena indikatornya tidak merujuk obyek atau target yang akan di jadikan sasaran akhir kegiatan.<br />2. Relevansi Perencanaan antar satuan kerja belum menunjukan integrasi pencapaian tujuan akhir dari APBD.<br />Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan penganggaran, tetapi seharusnya dilakukan antar satuan kerja. Hal ini sangat penting karena target capaian program dan atau target hasil (outcome) suatu kegiatan menuju visi daerah dapat dicapai melalui sinergi program dan kegiatan antar SKPD.<br />Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain, karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, satuan kerja cenderung tidak fokus dan tidak terarah dalam operasionalnya sehingga pada akhirnya beroperasi secara sendiri-sendiri sehingga menimbulkan inefisiensi dan inefektifitas.<br />Padahal sebenarnya penetapan target di tingkat daerah provinsi/kabupaten/kota dapat merujuk kepada target yang ditetapkan sesuai keputusan menteri dengan Indikator Kinerja Utama yang mencakup keberadaan indikator utama bagi 26 urusan wajib dan 8 urusan pilihan.<br />3. Penyusunan Program/Kegiatan tidak menjawab permasalahan dan/atau kurang relevan dengan peluang yang dihadapi.<br />Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan kewajibannya.<br />Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.<br />4. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih terbatas pada penyerapan dana.<br />Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran berbasis kinerja.<br />Tanpa pertanggungjawaban yang lebih akuntabel tersebut, perbaikan kinerja satuan kerja tidak dapat berlanjut secara berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.<br />Dampak dari permasalahan tersebut adalah sulitnya menyusun Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), dan jika disusun hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban tanpa substansi utama berupa tingkat capaian kinerja yang dapat direalisasikan sebagai imbalan atas dihabiskannya anggaran dan adanya umpan balik atas kegagalan pencapaian guna perbaikan strategi di masa yang akan datang.<br /><br /></FONT><br /></div>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-16040634898545476242009-07-29T19:07:00.000-07:002011-09-04T20:14:49.154-07:00AKUNTABILITAS OTONOMI DAERAH<div align="center">
<span style="font-weight: bold;">Good Local Governance Melalui Otonomi Daerah</span></div>
<div align="justify">
<br />
Implementasi dari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, telah menumbuhkan paradigma baru terhadap pola manajemen pemerintah daerah. Melalui peraturan ini dimulailah era pemerintahan desentralisasi dan diawalinya era otonomi daerah.<span class="fullpost"><br />Melalui otonomi diharapkan dapat membuka kesempatan yang sama dan seluas-luasnya bagi daerah dengan rambu-rambu yang disepakati bersama sebagai jaminan terselenggaranya <span style="font-style: italic;">social order</span>. Disamping itu otonomi juga memberikan peluang bagi persaingan sehat antar daerah, tentu saja dengan jaring-jaring pengaman bagi tercapainya persyaratan minimum bagi daerah-daerah yang dipandang masih belum mampu mensejajarkan diri dalam suatu <span style="font-style: italic;">level of playing field</span>.<br />Otonomi memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah tetapi, tanpa kontrol yang memadai akan cenderung menyebabkan tindakan <span style="font-style: italic;">moral hazard</span> dengan lebih berusaha untuk mengakumulasi kekayaan melalui sistem gaji dan benefit lainnya. Implikasi negatif terhadap berbagai sektor lain seperti infrastruktur dan fasilitas publik secara kuantitas dan kualitas tidak dapat ditanggapi secara maksimal oleh masyarakat lokal, sedangkan pada saat yang bersamaan pemerintah pusat tidak dapat melakukan intervensi secara langsung ke daerah. Kewenangan yang besar tanpa diikuti dengan akuntabilitas yang memdai ternyata berdampak pada fenomena moral hazard dalam bentuk korupsi. Menurut data yang dirilis oleh ICW tahun 2007 data korupsi di Indonesia yang terbesar justru terjadi di level pemerintah daerah.<br />Walaupun telah mencapai masa 9 (sembilan) tahun, ternyata masih banyak daerah yang ketinggalan dan belum dapat menyesuaikan diri dalam konsepsi otonomi daerah yang ideal. Dengan adanya desentralisasi kewenangan, yang nampak jelas baru pada tahap alokasi APBN yang semakin bertambah karena makin banyaknya daerah yang dimekarkan. Disamping itu dari jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada tahun 2007 atas kinerja pemerintah daerah, dari responden yang ada di 33 ibukota provinsi di Indonesia menunjukan hasil yang mencengangkan, yaitu 83,8 % responden menyatakan tidak puas atas kinerja pemerintah daerah dalam upaya memperbaiki kondisi perekonomian, dan 52 % merasa bahwa belum ada perbaikan kesejahteraan masyarakat di daerah.<br /><br />Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo), dalam pemaparannya pada <i>Regional Forum on Reinventing Government In Asia, 2007</i>, mengatakan bahwa untuk menciptakan Pemerintahan Lokal yang Lebih Baik khususnya pada Pemerintah Provinsi Gorontalo dilakukan langkah-langkah yang berfokus pada :<br />1. Peningkatan Kapasitas SDM,<br />2. Peningkatan Kapasitas Keuangan/Pembiayaan<br />3. Peningkatan Kapasitas Teknologi Infromasi<br />4. Peningkatan Kapasitas Sistem<br /><br />Menarik kesimpulan dari langkah yang telah ditempuh (<span style="font-style: italic;">the best practice</span>) serta pendapat para pakar, dalam upaya untuk mewujudkan GLG, setidaknya ada 2 (dua) tahapan besar yang harus ditempuh yaitu :<br /><br />Pertama : Meningkatkan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Di daerah, <br />Penanganan Pengembangan Sumber Daya Manusia (biasanya Bagian Kepegawaian atau Badan Kepegawaian daerah) harus berdasarkan informasi yang memadai mengenai pemetaan kekuatan SDM yang ada. Pemetaan ini meliputi knowledge (tingkat pendidikan), dan kompetensi (<span style="font-style: italic;">skill)</span> para pegawai, manfaatnya agar dapat dilakukan penataan dan penempatan yang sesuai dengan keahlian (<span style="font-style: italic;">the right man on the right place)</span>. Mencontoh langkah yang diambil oleh Fadel Muhammad, peningkatan kapasitas SDM dalam rangka melakukan reformasi pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut :<br />a. Melakukan strategi jangka pendek, <span style="font-style: italic;">outsourcing</span>, guna mengatasi kekurangan SDM yang berkeahlian tertentu.<br />b. Dalam jangka panjang melakukan rekruitment SDM berkeahlian sesuai kebutuhan dan mengirim pegawai yang potensiil untuk menjalani pendidikan lebih tinggi sesuai kebutuhan.<br />c. Menciptakan reward system berupa Tunjangan Kinerja Daerah untuk menghilangkan sistem bonus proyek, sehingga insentif ini lebih adil dan transparan.<br />d. Memberikan sanksi (punishment) yang tegas bagi pegawai yang melanggar aturan.<br /><br />Kedua : Meningkatkan Manajemen Pemerintahan, dengan tahapan sebagai berikut :<br />1. Perencanaan Pembangunan Daerah<br /><i>Fail to Plan is Plan to Fail </i>artinya ketika kita gagal membuat rencana maka sama dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan yang dimaksud dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah adalah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) maupun Rencana Kinerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai rencana operasional tahunan. Langkah yang ditempuh dapat menggunakan pendekatan <i>startegic planning orientation by SWOT analisys</i>.<br /><br />2. Penganggaran Daerah,<br />Penganggaran daerah identik dengan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan konsep <i>value for money (VFM),</i> pengelolaan anggaran memerlukan prioritas, terutama menyangkut aspek rencana anggaran, aspek akuntansi, dan aspek pemeriksaan. Konsep VFM dapat menjamin dikelolanya uang rakyat secara ekonomis, efektif, transparan, dan akuntabel yang akhirnya dapat mewujudkan akuntabilitas publik yang memadai. Dengan demikian perlu dikembangkan pola penyusunan rencana anggaran (APBD) yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat di daerah (pro poor budgeting).<br />APBD pada dasarnya memuat rencana keuangan yang dihasilkan dan digunakan oleh pemerintah daerah, dalam rangka melaksanakan kewenangannya dalam penyelenggaraan pelayanan umum selama satu tahun anggaran. Sesuai dengan pendekatan kinerja yang digunakan dalam penyusunan APBD., setiap alokasi biaya yang direncanakan harus dikaitkan dengan tingkat pelayanan atau target hasil yang diharapkan. Sehingga prinsip dasar yang digunakan dalam menentukan besaran anggaran yang dibutuhkan daerah adalah prinsip fungsi ditetapkan dahulu, baru diikuti oleh penetapan besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk urusan wajib atau pilihan terkait<i> (finance follows function).</i><br /><br />Struktur APBD sesuai ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 22, terdiri dari :<br />1) Anggaran Pendapatan<br />a. Pengembangan potensi daerah terutama peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),<br />Pada dasarnya, suatu daerah akan menjalankan fungsinya secara baik jikalau memiliki PAD yang tinggi. Sehingga daerah tersebut dapat leluasa dan mandiri menentukan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat setempat. Namun demikian, sumber-sumber PAD yang terdiri dari Pajak, Retribusi, Hasil perusahaan milik daerah, dan PAD lain yang sah , secara umum relatif masih kecil. Jadi upaya yang diperlukan adalah mengembangkan potensi yang ada di daerah untuk menjadi sumber PAD, melakukan perencanaan dan administrasi pemungutan sehingga tidak menimbulkan ironi “besar pasak daripada tiang”, dan terakhir melakukan pengawasan yang efektif untuk mencegah kebocoran. <br /><br />b. Mengelola Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat dengan optimal.<br />Selama jumlah PAD belum memadai untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah sendiri, maka Pemerintah Pusat memberikan dana perimbangan. Dana Perimbangan terdiri dari :<br />i. Dana Bagi Hasil<br />ii. Dana Alokasi Umum (DAU),<br />iii. Dana Alokasi Khusus (DAK),<br /><br />2) Anggaran Belanja<br />Secara fakta setiap terjadi prosesi penyusunan APBD titik sentral pembahasan lebih berat pada struktur anggaran belanja. Setiap unit kerja lebih tertarik membahas besaran porsi anggaran belanjanya daripada pokok bahasan “apa yang akan dihasilkan (baca kinerja) atas pengeluaran anggaran tersebut ?’. Disamping itu pola pikir bagaimana menghabiskan (menyerap 100%), lebih berkembang daripada pola pikir menghasilkan sesuatu secara optimal atas penggunaan sumber dana (input) yang sangat terbatas ini. Sehingga eksplorasi lebih lanjut dan fungsi utama dari belanja yaitu Fungsi Alokasi, Distribusi dan Stabilisasi menjadi terabaikan.<br /><br />3) Anggaran Pembiayaan<br />Timbulnya komponen Anggaran Pembiayaan dalam APBD merupakan konsekuensi atas dianutnya sistem anggaran surplus/defisit. Estimasi Pembiayaan adalah cerminan dari strategi menutup defisit atau surplus yang diperkirakan terjadi dalam tahun anggaran berjalan.<br /><br />3. Pelaksanaan Program dan Kegiatan,<br />Sebagai implementasi dari rencana anggaran pelaksanaan kegiatan adalah langkah untuk mewujudkan segala sesuatu yang telah direncanakan. Dalam tahap ini hal yang perlu menjadi fokus adalah mengendalikan agar pelaksanaan tersebut mentaati dan tunduk pada ketentuan yang berlaku, sekaligus menjaga agar keluaran dan hasil yang diperoleh sesuai dengan target kinerja yang telah ditetapkan.<br /><br /><br />4. Penatausahaan dan pembukuan<br />Ketentuan mengenai tatacara penatausahaan dan pembukuan anggaran telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006, termasuk rincian detail berupa sistem dan prosedur yang diatur sesuai Surat Edaran nomor 900/316/BAKD tanggal 5 Juli 2007 tentang Pedoman Sistem Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi, Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Pada dasarnya seluruh ketentuan yang ditetapkan adalah untuk mengatur agar proses yang terjadi dapat berjalan dengan tertib.<br />Penggunaan sangat dianjurkan , dengann sasaran , sebagai berikut :<br />1. Kemudahan bagi pelaksanaan administrasi, penatausahaan dan pembukuan keuangan daerah<br />2. Kemudahan dan kecepatan pengolahan informasi keuangan guna pengambilan keputusan strategis.<br />3. Kecepatan ketersediaan data yang tejaga kemutakhirannya<br />4. Keamanan data lebih terjaga .<br /><br />Disisi lain karena kemudahan yang ditawarkan oleh penggunaan TI, yaitu melalui otomatisasi proses dapat digunakan untuk mengatasi kendala terhadap lemahnya pemahaman konsep-konsep akuntansi dan keuangan pada SDM yang ada di pemerintah daerah.<br /><br />5. Pertanggungjawaban yang transparan dan akuntabel.<br />Dalam mewujudkan akuntabilitas publik, pemerintah daerah tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu melapor ke pemerintah pusat, tetapi juga horizontal reporting, yaitu melaporkan kinerjanya kepada masyarakat dan partisipan daerah. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 diwajibkan bagi daerah untuk membuat laporan yaitu :<br />a. Laporan Keuangan<br />Sesuai PP 24 tahun 2005 dinyatakan bahwa Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah selama suatu periode, yang terdiri dari :<br />1. Neraca Daerah<br />2. Laporan Realisasi Anggaran (LRA)<br />3. Laporan Arus Kas (LAK), dan<br />4. Catatan Atas Laporan Keuangan (CaLK)<br /><br />b. Laporan Kinerja<br />Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian Kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD. Laporan kinerja membutuhkan sistem pengukuran kinerja dan untuk dapat mengukur keberhasilan suatu fungsi pemerintahan diperlukan global measure sebagai suatu bentuk pertanggungjawaban kebijakan pemerintah daerah.<br /><br />Simpulan<br />Sampai saat sekarang belum ditemukan <i>the best practice </i>yang ideal atas implementasi GLG. Namun demikian upaya untuk meng-elaborasi-kannya tidak boleh surut agar proses<b><i> learning </i></b>berjalan secara <b><i>by doing</i></b> .Upaya utama yang harus ditempuh secara simultan adalah Pemerintah Daerah harus mengupayakan peningkatan kapasitas SDM (Human Resources), membenahi manajemen pemerintahan di daerah agar mencapai tatanan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik, dan meningkatkan pemanfaatan kemajuan teknologi informasi (TI) untuk mendukung percepatan pelaksanaan pengelolaan administrasi dan birokrasi.</span></div>
andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-83383801543765487362009-06-08T20:57:00.000-07:002011-06-06T01:12:45.401-07:00AKUNTABILITAS ASET DAERAH<DIV align="justify">PENGELOLAAN ASET DAERAH KENDALA PEROLEHAN OPINI WTP<br /><br /><br />Banyak upaya yang telah dilakukan Pemerintah Daerah untuk memperoleh Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas Laporan Keuangannya, Namun banyak yang kecewa karena tak kunjung mendapatkan. Dari banyak permasalahan yang menjadi penghambat, ternyata penyajian aset daerah merupakan kendala terbanyak. <br />Jika dilihat dari penampilan kebanyakan Laporan Neraca pada hampir 99% pemerintah daerah di Seluruh Nusantara, susunan kekayaan daerah (baca aktiva) adalah berupa ASET TETAP. Sementara itu asal usul, kepemilikan maupun nilai dari aset tersebut sering tidak jelas atau tidak dapat dijelaskan dengan baik <em>(UNFULLDISCLOUSURE).</em><br /><br /><FONT class="fullpost">Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi antara lain, sebagai berikut : <br /><br />1.Kebanyakan Pengelola Aset Daerah (sesuai istilah dalam Permendagri 17/2007), belum memahami perbedaan definisi aset daerah dengan barang inventaris. Yang disebut Aset Daerah adalah barang yang benar-benar dimiliki oleh daerah sementara brang inventaris dapat saja berupa barang yang digunakan dan ada di daerah tetapi bukan milik daerah.<br />2.Pola pengadaan barang (baca belanja modal) selama ini hanya untuk membeli dan bukan mengelola, sehingga setelah barang diperoleh tidak pernah dilakukan pengendalian secara memadai (misalnya dilakukan inventarisasi secara periodik)<br />3.Metodologi penyajian nilai aset daerah dalam laporan keuangan tidak sama dengan membuat laporan barang inventaris. Sesuai Standar Akuntansi Pemerintah nilai yang dicantumkan dalam Neraca seharusnya nilai perolehan dan bukan nilai pasar atau nilai dari hasil penilaian kembali. Sedangkan yang boleh menggunakan nilai wajar hanya pada saat menyusun neraca awal saja, khususnya bagi aset-aset yang sudah lama.<br />4.Pada saat merencanakan anggaran tidak dilakukan verifikasi secara memadai sehingga terjadi kesalahan dalam memberikan kode rekening atas belanja yang dianggap sebagai Belanja Modal (BM). Padahal setiap BM harus menambah jumlah aset daerah namun karena belanja barang yang dilakukan tidak untuk dimiliki/digunakan sendiri oleh pemerintah daerah sehingga BM tersebut tidak menambah jumlah aset daerah.<br /><br />Bagi kebanyakan pemerintah daerah permasalahan aset nampak sangat rumit dan <em>complicated,</em> bahkan seolah tidak dapat terselesaikan, padahal sebenarnya penyelesaiannya bisa ”sangat sederhana”. Yang menjadi permasalahan adalah pemerintah daerah tidak tepat memilih pendekatan dan metode yang digunakan sehingga menyebabkan pengeluaran anggaran belanja yang besar tetapi hasilnya tidak memuaskan, bahkan dapat dikatakan gagal. <br /><br /></FONT><br /><br /></DIV>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-24740449363668072832009-02-26T18:33:00.000-08:002009-03-01T18:27:29.991-08:00Tanggapan Opini BPK<div align="justify">Tujuan audit oleh BPK adalah untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintahan melalui audit atas laporan keuangan pemerintah pusat(LKPP). Demikian juga Pemerintah cq. Departemen Keuangan sebagai penyusun LKPP ingin berbuat yang terbaik untuk mencapai hal tersebut.<br /><br />Artikel ini merupakan resume tanggapan dari Departemen Keuangan RI atas temuan yang disampaikan oleh BPK RI. Sebuah catatan yang sangat menarik karena menunjukan bahwa opini auditor<strong><i> bisa saja tidak sepenuhnya benar </i></strong>dan bagi yang terperiksa (auditan) tidak perlu sungkan untuk memberikan tanggapan untuk tidak sepakat atas temuan-temuan tersebut sepanjang mempunyai pijakan (dasar argumentasi) yang jelas dan benar. Adapun kronologi penyampaian temuan yang normatif, adalah :<br /><ol><li><strong>Kondisi</strong> kejadian (fakta),<br /></li><li><strong>Kriteria</strong>/ketentuan yang dilanggar (sesuai periode fakta),<br /></li><li><strong>Sebab</strong> kejadian,<br /></li><li><strong>Akibat</strong> kejadian (bisa <strong>administratif atau kerugian negara</strong>),<br /></li><li>dan yang tidak kalah penting adalah <strong>Rekomendasi</strong> untuk menghilangkan penyebab.<br /></li></ol><span class="fullpost"><br /><strong>Tanggapan Pemerintah cq. Departemen Keuangan atas Temuan BPK sebagai berikut :</strong><br /><br />Pemerintah telah mencermati hasil pemeriksaan BPK dan beberapa masalah yang ditemukan sebagai dasar bagi simpulan audit BPK dapat dikemukakan sebagai berikut:<br /><ol><li>Pembatasan lingkup pemeriksaan BPK.<br /></li><li>Pelaksanaan sistem akuntansi yang belum sempurna sehingga berdampak pada angka-angka yang disajikan pada LKPP Tahun 2007 terutama pada K/L yang memiliki satker dekonsentrasi dan tugas pembantuan.<br /></li><li>Penyimpangan (menurut Pemerintah merupakan perbedaan pendapat) terhadap penerapan ketentuan keuangan negara atau standar akuntansi seperti konsep azas bruto dan investasi non permanen.<br /></li><li>Beberapa K/L memperoleh PNBP tanpa didukung oleh peraturan pemerintah, dan sebagian menggunakannya langsung tanpa melaporkannya sebagai PNBP.<br /></li></ol>Terhadap masalah-masalah yang dikemukakan pada angka 3, Pemerintah memberi tanggapan sebagai berikut:<br /><ol><li>Keterbatasan lingkup pemeriksaan BPK sehingga tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan yang memadai terutama di bidang perpajakan telah diselesaikan melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi dan putusannya sudah terbit. Sedangkan mengenai keterbatasan pemeriksaan BPK pada biaya perkara di Mahkamah Agung diakui masih harus memerlukan langkah penyelesaian.<br /></li><li>Implementasi sistem akuntansi yang dibangun dengan mengacu pada Standar Akuntansi Pemerintahan harus diakui masih dalam tahap awal karena baru efektif diterapkan sejak tiga tahun lalu. Sistem akuntansi tersebut harus mengakomodasikan seluruh variasi transaksi keuangan Pemerintah dan harus diterapkan oleh 21.792 satker APBN berpegang pada dukungan pelaksana yang hampir seluruhnya tidak memiliki latar belakang akuntansi. Pemerintah, dan seyogyanya kita semua, termasuk BPK, sudah selayaknya berbesar hati bahwa dari latar belakang ketiadaan akuntansi pemerintahan sama sekali dan personil yang umumnya tidak pernah memperoleh pendidikan akuntansi, akhirnya secara bertahap kita telah mampu menghasilkan LKPP yang bisa disetarakan dengan laporan keuangan negara-negara modern lainnya.<br /></li><li>Terdapat tiga temuan BPK yang menurut Pemerintah lebih tepat dinyatakan sebagai perbedaan pendapat dalam penerapan ketentuan keuangan negara, standar akuntansi, dan sistem akuntansi.</li></ol><ul><li><strong>– Penerapan azas bruto atas penerimaan migas<br /></strong>Pemerintah mengikuti pendapat KSAP bahwa penerimaan PNBP migas dapat diakui hanya setelah earnings process selesai. Penerimaan migas pada rekening 600.000.411 masih harus memperhitungkan unsur-unsur under/over lifting, DMO, pengembalian PPN dan PBB. Selain itu, pengakuan pendapatan migas sebelum earnings process selesai akan berakibat pada dasar penetapan Dana Perimbangan yang tidak akurat, sehingga penerapan azas bruto dalam hal ini akan menyesatkan. Namun demikian, status rekening 600.000.411 telah di-disclose pada neraca dan laporan arus kas, dan mutasinya dikemukakan secara jelas pada CaLK dan terbuka untuk diaudit.<br /><br />– Klasifikasi dana bergulir<br />Pemerintah mengikuti ketentuan PSAP No. 06 tentang Akuntansi Investasi, dimana dana bergulir merupakan investasi jangka panjang non permanen. Kas yang berstatus dana bergulir pada BLU (seperti pada LPDB Menkop UKM atau PIP Depkeu) berbeda dengan kas yang berstatus kas operasional yang memang harus dikonsolidasikan pada posisi kas K/Lyang bersangkutan. Dengan demikian, apabila Pemerintah mengikuti saran auditor BPK maka penyajian neraca menjadi bertentangan dengan prinsip akuntansi dan konsep pengelolaan keuangan BLU.<br /><br /><strong>– Konsolidasi pendapatan dalam LKPP</strong><br />BPK berpendapat bahwa realisasi Pendapatan Negara adalah berdasarkan laporan akuntansi kementerian negara/lembaga. Pemerintah tidak setuju dengan pendapat tersebut karena alasan sebagai berikut:<br /><ul><li>Menteri Keuangan menurut UU berfungsi sebagai pengelola fiskal dan Bendahara Umum Negara, dan karenanya menjadi penanggung jawab utama terhadap realisasi penerimaan/pendapatan.<br /></li><li>Menteri/pimpinan lembaga menurut UU berfungsi sebagai pengguna anggaran dan bertanggung jawab terhadap setiap pembebanan anggaran. Karenanya menteri/pimpinan lembaga menjadi penanggung jawab utama atas realisasi belanja.</li></ul></li></ul><ul><li>Sistem Akuntansi Pemerintahan dibangun dengan kapasitas internal check (saling uji) antara sistem akuntansi yang diselenggarakan oleh Bendahara Umum Negara dengan sistem akuntansi yang diselenggarakan oleh K/L.<br /></li></ul><ul><li>Apabila Pemerintah mengikuti saran BPK untuk mendasarkan jumlah realisasi pendapatan tahun 2007 pada akuntansi K/L, maka jumlah realisasi pendapatan menjadi hanya Rp699.577.480.292.800 bukan sebesar Rp707.806.088.304.925 sebagaimana disajikan pada LRA yang sudah diaudit. Dengan kata lain, <strong>apabila saran BPK dipaksakan maka akan mengakibatkan pendapatan negara kurang saji sebesar Rp8.228.608.012.125.</strong><br /></li></ul><ul><li>Terhadap temuan PNBP yang belum ada PP-nya dan digunakan langsung tanpa dilaporkan (misalnya pengelolaan Gedung Manggala Wanabakti yang dikelola oleh Yayasan Sarana Wana Jaya), Pemerintah akan melakukan inventarisasi ulang dan menyiapkan ketentuan supaya pelaksanaannya sesuai dengan perundang-undangan keuangan negara.<br /></li></ul>Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan dihasilkannya LKPP Tahun 2007 dari proses akuntansi yang modern walaupun belum sempurna dan telah diaudit secara independen oleh lembaga yang kompeten, kita semua patut berbesar hati bahwa kita secara bertahap telah mewujudkan amanat pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan transparan. Cukup banyak perbaikan dalam penyelenggaraan akuntansi pada sebagian besar jajaran satker pemerintah yang hasilnya ditunjukkan dalam LKPP Tahun 2007, antara lain:<br /><ol><li> Jumlah anggaran belanja yang kurang dipertanggungjawabkan (suspen) dari tahun 2005, 2006, dan 2007 semakin menurun, berturut-turut sebagai berikut: TA 2005 sebesar Rp1,94 triliun, TA 2006 sebesar Rp0,92 triliun, dan TA 2007 sebesar minus Rp0,24 triliun.<br /></li><li> Nilai aset Pemerintah semakin meningkat, berturut-turut sebagai berikut: tahun 2005 sebesar Rp1.173,13 triliun, tahun 2006 sebesar Rp1.219,26 triliun, dan tahun 2007 sebesar Rp1.600,21 triliun, sehingga untuk pertama kalinya Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2007 menunjukkan nilai kekayaan bersih yang positif sebesar Rp169,25 triliun.<br /></li><li> Beberapa butir pengungkapan (disclosures) yang baru, seperti mutasi rekening migas, hasil penertiban rekening, dan ikhtisar keuangan lembaga nonstruktural.</li></ol>Beberapa temuan pokok yang disampaikan oleh BPK kami akui adanya dan menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk memperbaikinya. Kelemahan dan kekurangan masih terjadi, bukan karena pihak Pemerintah tidak memberi perhatian, namun hal demikian terjadi semata-mata karena diperlukan waktu untuk menyempurnakannya. Karenanya, Pemerintah selalu terbuka terhadap kritik dan saran audit BPK. <strong>Namun demi keseimbangan (fairness), Pemerintah sesungguhnya berharap bahwa BPK pun memberi pengakuan terhadap kemajuan-kemajuan yang telah dilakukan oleh Pemerintah.</strong> Namun, pihak BPK masih cenderung berfokus pada ‘bagian gelas yang masih belum terisi, bukan pada bagian yang sudah semakin terisi’. Apabila BPK hanya memberi penilaian pada kekurangan serta masalah-masalah yang belum tertangani, dikhawatirkan pendekatan demikian dapat berakibat pada kemunduran semangat dan pada gilirannya menimbulkan efek contra-productive bagi para penyelenggara akuntansi dan laporan keuangan kementerian negara/lembaga yang sedang giat-giatnya memperdalam disiplin baru ini.<br /> <br />Pada hakikatnya tanggung jawab untuk mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang berkualitas merupakan tanggung jawab bersama, baik Pemerintah maupun BPK. Namun seperti kita ketahui bahwa Pemerintah memiliki keterbatasan karena terkendala oleh berbagai faktor seperti keterbatasan kapasitas SDM. Demikian pula, Pemerintah menyadari adanya keterbatasan yang dialami oleh BPK dalam hal kualitas SDM yang dirasakan menurun dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2007, yang kemungkinan disebabkan oleh deployment sebagian SDM yang berkualitas pada kantor-kantor perwakilan baru. <strong>Dalam kaitan ini, Pemerintah mengharapkan agar pada masa mendatang penyampaian temuan oleh tim audit BPK lebih terorganisasikan dan harus dipastikan pengagendaannya dalam pembahasan teknis antara Pemerintah dan BPK</strong>.Terakhir, perlu kami beri klarifikasi mengenai berita media tanggal 27 Mei 2008 yang memberitakan bahwa BPK telah menemukan sekitar 33.000 rekening yang baru dengan nilai Rp30-an triliun. Hal ini telah kami cek kepada BPK, dan <strong>ternyata temuan rekening dimaksud pada dasarnya berasal dari temuan Tim Penertiban Rekening Pemerintah yang hasilnya pada waktu lalu telah disampaikan kepada Tim Audit BPK. Jadi, temuan rekening dimaksud merupakan temuan oleh Pemerintah, bukan temuan BPK</strong>.<br /><br />Semoga artikel ini dapat menjadi informasi bagi para pengemban kebijakan. Satu hal yang perlu kita garis bawahi disini adalah " perbedaan pendapat bukanlah temuan audit"<br /></div></span>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-50437183808743340112009-02-18T18:34:00.000-08:002009-07-23T03:40:59.268-07:00MODUL RENSTRA SKPD<div align="center">MODEL PRAKTIS PENYUSUNAN RENSTRA SKPD<br /></div><br /><div align="justify">Rencana Strategik merupakan dokumen perencanaan yang dikembangkan dalam rangka mengimplementasikan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (Inpres 7 tahun 1999). Penerapan sistem dilakukan agar perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik menuju tatanan Good Governance Government dapat tercapai. Namun demikian untuk dapat menyusun dokumen tersebut dengan baik, realistis dan selaras tidaklah mudah. Hal tersebut disebabkan belum ada satu referensipun yang membahas dengan praktis penyusunan rensta sampai dengan penyusunan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).<span class="fullpost"> Disamping itu pedoman-pedoman yang adapun hanya bersifat normatif .<br />Renstra sebagai sebuah dokumen perencanaan mempunyai landasan pikir yang berbeda jika dibandingkan dengan dokumen perencanaan pendahulunya. Beberapa perbedaan tersebut antara lain, adalah :<br />1. Renstra dikembangkan dengan pola pikir melihat ke masa depan<i> (vision)</i>. Karena dalam perumusan renstra yang menjadi perhatian utama adalah ” dimasa depan menjadi apa? Dan dengan strategi bagaimana cita dan citra tersebut akan diwujudkan?<br />2. Salah satu kunci utama perumusan visi sampai dengan strategi pencapaian tujuan dan sasaran yaitu program dan kegiatan harus memperhatikan keselarasan. Dengan keselarasan dapat dijaga tingkat ketercapaian target yang tinggi. Karena tanpa keselarasan akan dihasilkan perencanaan yang tidak integral dan mengakibatkan kegiatan tidak nyambung dengan program dan sasarannya.<br />3. Dalam merumuskan renstra ada keharusan untuk dan penetapan indikator kinerja sasaran/program dan kegiatan serta membangun sistem pengumpulan data. Hal tersebut diperlukan agar pengukuran kinerjanya dapat dilakukan dengan baik.<br /><br />Komponen renstra terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, program dan kegiatan. Agar perumusan visi dapat lebih tepat, sebagai langkah pertama diperlukan identifikasi pelanggan yang menjadi<i> stakeholder</i> organisasi. Disamping itu perlu juga dilakukan <i>environmental scanning</i> untuk mengindentifikasi data internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap aktivitas organisasi. Ini dibutuhkan agar visi yang dirumuskan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan mereka. Sebab eksistensi organisasi sangat tergantung dari kebutuhan/ketergantungan pelanggan terhadap keberadaan organisasi. Sebab organisasi pemerintah harus menjadi organisasi yang berorientasi kepada pelanggan <i>(customer driven organization)</i>.<br />Sejalan dengan penerapan PP 41 tahun 2007 tentang Struktur Organisasi Perangkat Daerah, maka penyusunan renstra harus mengacu pada pembagian tupoksi terhadap kinerja yang akan dicapai masing-masing tingkatan manajemen. Agar memudahkan pembagian target kinerja sesuai jenjang struktural SKPD, maka komponen renstra yaitu Misi, Tujuan dan Sasaran dianalogikan dengan pembagian jenjang struktural lini II, dan tingkat program pada struktural lini III serta kegiatan pada lini Pejabat Teknis Kegiatan. Dengan metode pembagian seperti ini dimungkinkan pengendalian yang lebih baik serta memudahkan metode pengukuran kinerja dari masing-masing jenjang terhadap area yang menjadi lingkup tanggung jawabnya.<br /><br />untuk memudahkan pembahasan, berikut ini disajikan ilustrasi tahapan perumusan renstra salah satu SKPD yaitu Kantor Pengolahan Data Elektronik (KPDE) Kabupaten X, sebagai berikut :<br /><br />VISI<br /><br />Definisi Visi adalah suatu gambaran menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan instansi pemerintah.<br />Dengan pendekatan <i>Fish Bone</i> dan memperhatikan hasil inisialisasi organisasi, maka dirumuskan visi KPDE sebagai berikut :<br /><br /><div align="center">TERSELENGGARANYA JARINGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA YANG TERINTEGRASI UNTUK MENDUKUNG TERWUJUDNYA PEMERINTAHAN YANG BAIK<br /></div><br />MISI<br />Misi adalah sesuatu yang barus diemban atau dilaksanakan oleh instansi pemerintah, sebagai penjabaran visi yang telah ditetapkan. Hal tersebut identik dengan tugas dan fungsi dari organisasi.<br />Sesuai perda yang mengatur struktur organisasi KPDE mempunyai tupoksi utama yaitu melaksanakan kebijakan teknis di bidang pengelola data elektronik, sistem informasi dan transaksi elektronik serta keterbukaan informasi publik<br />Sedangkan struktur organisasi terdiri dari Kepala Kantor, Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Data dan Produksi, Seksi Aplikasi Telematika, Seksi Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi.<br />Dengan mempertimbangkan jumlah struktur dan rentang kendali yang ada dalam organisasi, maka perumusan misi disesuaikan sedemikian rupa agar tupoksi dapat terbagi habis. Hal ini sangat bermanfaat pada saat dilakukan pengukuran kinerjanya. Dengan model ini seluruh pengendalian atas kinerja sampai dengan pengukuran capaian kinerja kegiatan dapat secara langsung mencerminkan keberhasilan tingkatan manajerial yang ada dalam organisasi.<br />Adapun rumusan misi tersebut, sebagai berikut :<br />1. Mewujudkan Jaringan komunikasi dan Informatika yang terintegrasi<br /> (Seksi Aplikasi Telematika)<br />2. Mewujudkan Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi yang efektif<br /> (Seksi Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi)<br />3. Melaksanakan Pengelolaan Data dan Produksi Data secara Elektronik (Seksi Data dan Produksi)<br />4. Mewujudkan penyelenggaraan urusan Rumah Tangga guna pengembangan kapasitas Organisasi dan SDM (Sub Bagian Tata Usaha)<br /><br />TUJUAN<br />Tujuan adalah sesuatu (apa) yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahunan.<br />Agar diperoleh perumusan yang tepat, dapat digunakan analisis SWOT untuk memperoleh gambaran lingkungan internal dan eksternal organisasi. Adapun hasil pemetaan SWOT tersebut adalah :<br /><br /><i>Strenght</i> (kekuatan) :<br />1. Adanya dasar hukum/perda organisasi yang baik<br />2. Adanya sistem informasi untuk aplikasi gaji, otomatisasi administrasi kantor dan persandian<br />3. Telah terpasangya jaringan komunikasi pada 27 SKPD dari 41 SKPD yang ada<br /><br /><i>Weakness</i> (kelemahan) :<br />1. Jumlah sarana dan prasarana kantor yang kurang memadai<br />2. Kuantitas dan kualitas SDM yang kompeten di bidang TI yang sangat minim<br />3. Dukungan dana pengembangan yang belum mencukupi<br /><br /><i>Oportunities</i> (peluang) :<br />1. Adanya dukungan dan kesempatan yang luas dari Departemen Kominfo pusat terhadap pengembangan TI di Kabupaten X<br />2. Kebutuhan akan data dan informasi yang diolah secara elektronik cukup tinggi baik oleh SKPD lain, masyarakat dan akademisi<br />3. Belum tersedianya data potensi daerah yang terintegrasi<br /><br /><i>Treatment </i>(Ancaman) :<br />1. Kurangnya komitmen atas pengembangan TI di lingkungan Pemerintahan Kabupaten X<br />2. Kelangsungan penyediaan listrik oleh PLN yang sering mengalami gangguan berpotensi menyebabkan rusaknya sistem informasi dan database<br />3. Mutasi/pemindahan pegawai yang tidak mempertimbangkan kompetensi/skill<br /><br />Analisis SWOT dibutuhkan agar dapat ditentukan Key Sucsses Factor sebagai langkah kunci untuk mencapai keberhasilan organisasi. Analisis tersebut untuk menentukan 4 (empat) strategi pokok, yaitu :<br />1. Mengoptimalkan kekuatan agar meraih peluang<br />2. Menggunakan kekuatan untuk mencegah ancaman<br />3. Mengurangi kelemahan untuk meraih peluang<br />4. Mengurangi kelemahan untuk mencegah ancaman<br /><br />Atas dasar 4 (empat) strategi pokok tersebut, dikembangkan analisis untuk memperoleh strategi agar mencapai optimalisasi tujuan dan sasaran sebagai berikut :<br />1. Dengan potensi data yang telah ada, Sistem Informasi yang telah dimiliki, akan dikembangkan lebih lanjut agar dapat diperoleh hasil yang lebih optimal.<br />2. Sarana dan prasarana serta SDM yang dimiliki didayagunakan secara lebih efektif dan efisien agar dapat memberikan pelayanan prima dalam penyediaan dan pengelolaan data elektronik.<br />3. Kondisi SDM yang kompeten dibidangnya dirasa masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan secara proporsional agar dapat mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.<br />4. Menggalang komitmen dan persepsi bahwa penggunaan TI dalam konsep pengembangan komunikasi dan informatika sangat penting, agar dukungan lebih tinggi dan ancaman utama berupa kelangsungan penyediaan sumber daya listrik dapat diatasi.<br />Adapun rumusan Tujuan dari Misi (1) tersebut di atas, adalah :<br />1. Terciptanya Pengembangan jaringan Komunikasi yang terintegrasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten X<br />2. Terciptanya pemanfaatan Informatika yang terintegrasi d ilingkungan Pemerintah Kabupaten X<br />3. Terciptanya infrastruktur telekomunikasi yang tertata rapi<br />4. Terlaksananya penyelenggaraan persandian<br /><br />Rumusan Tujuan dari Misi (2) :<br />• Terwujudnya penyerapan dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat secara efektif<br /><br />Rumusan Tujuan dari Misi (3) :<br />• Terlaksananya pelayanan data kepemerintahan yang valid<br /><br />Rumusan Tujuan dari Misi (4) :<br />1. Terlaksananya penyelenggaraan kerumahtanggaan organisasi yang optimal<br />2. Tersedianya sarana dan prasarana aparatur yang memadai<br />3. Tersedianya Sumber daya Aparatur yang memiliki kompetensi secara mencukupi<br />4. Tersedianya Sistem Perencanaan dan realisasi Kinerja organisasi<br />5. Terlaksananya disiplin kerja aparatur<br /><br />SASARAN<br />Sasaran adalah hasil yang akan dicapai secara nyata oleh instansi pemerintah dalam rumusan yang lebih spesifik, terukur, dalam kurun waktu yang lebih pendek dari tujuan dengan indikator outcome yang terukur. Sehingga dalam perumusannya harus benar-benar diperhatikan keterukuran dari indikator kinerja sasaran tersebut. Sebagai contoh diambil rumusan Sasaran dari Tujuan (1), adalah :<br />1. Meningkatnya jaringan Komunikasi pada seluruh SKPD dilingkungan Pemerintah Kabupaten X ( dengan indikator jumlah SKPD yang memasang jaringan komunikasi)<br />2. Meningkatnya kemampuan SDM dalam mengelola jaringan komunikasi di Pemerintah Kabupaten X (dengan indikator jumlah peningkatan kemampuan SDM pengelola jaringan komunikasi)<br /><br />KEBIJAKAN<br />Kebijakan pada dasarnya merupakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh yang berwenang untuk dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk dalam pengembangan ataupun pelaksanaan program/kegiatan guna tercapainya kelancaran dan keterpaduan dalam perwujudan sasaran, tujuan, serta visi dan misi instansi pemerintah. Oleh karena itu perumusan kebijakan tinggal menyesuaikan dengan yang sudah ada terkait bidang/urusan yang akan dijalankan.<br /><br />PROGRAM<br />Program adalah kumpulan kegiatan yang sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah ataupun dalam rangka kerjasama dengan masyarakat, guna mencapai sasaran tertentu. Dalam perumusan program dan kegiatan perlu memperhatikan ketentuan dalam lampiran Permendagri 13 tahun 2006. Hal ini dimaksudkan jika nomenklatur program dan kegiatan sudah tersedia kodenya, sebaiknya digunakan dan jika belum tersedia dalam lampiran tersebut baru ditambahkan dengan tetap memperhatikan keselarasan tupoksi untuk masing-masing urusan.<br />Adapun rumusan program dari sasaran (1) tersebut di atas, adalah :<br />• Peningkatan jumlah Pemasangan Jaringan Komunikasi<br /><br />Adapun rumusan program dari sasaran (2), adalah :<br />• Peningkatan kemampuan SDM dalam mengelola jaringan Komunikasi<br /><br />KEGIATAN<br />Tindakan nyata dalam jangka waktu tertentu yang dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai program yang telah ditetapkan.<br />Adapun rumusan kegiatan dari program (1), adalah :<br />1. Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jaringan komunikasi dan sistem operasional (dengan indikator <i>input</i> dana, <i>output</i> jumlah jaringan yang dipelihara/dibangun, dan <i>outcome</i> peningkatan total jaringan yang tersedia)<br />2. Pengembangan Jaringan Telekomunikasi PABX (dengan indikator input dana, output jumlah jaringan PABX yang dibangun, dan outcome peningkatan total jaringan PABX yang tersedia)<br /><br />Adapun rumusan kegiatan dari program (2), adalah :<br />• Pelatihan teknis jaringan komunikasi (dengan indikator input dana, output jumlah pegawai yang dilatih, dan outcome peningkatan kemampuan penanganan masalah jaringan)<br /><br />Dalam perumusan renstra ini nampak bahwa keselarasan dari setiap komponen sangat diperhatikan. Dengan menjaga keselarasan tersebut, keterkaitan antara kegiatan, program sampai dengan visi akan nampak. Hal ini menjadi tegas kegiatan apa untuk mencapai program, sasaran yang mana, sehingga ketercapaian maupun kegagalan akan mudah diidentifikasi dengan baik. Disamping itu nampak area tupoksi masing-masing seksi dan dapat dihindari adanya tumpang tindih program dan kegiatan.<br /><br /><i>Fail to Plan is Plain to Fail</i> artinya gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan. Sebuah motto yang perlu dipahami karena dengan menyusun rencana yang baik pun masih dimungkinkan terjadi kegagalan apalagi jika dari awal rencana yang disusun tidak baik maka hanya kegagalan yang dapat diperoleh.<br /><br />Pada akhirnya penyusunan Renstra yang baik akan menjadi dasar pelaksanaan kegiatan berikutnya, yaitu tahapan penyusunan anggaran, pelaksanaan, penatausahaan serta pengukuran kinerja. Jika proses ini dijalankan dengan baik maka penyusunan pelaporan kinerjanya (baca LAKIP) akan dapat dilakukan dengan mudah. Pada prinsipnya setiap laporan hanya membandingkan antara rencana dengan realisasi. Permasalahan utama atas hal tersebut adalah jika rencana tidak pernah ditetapkan dengan baik maka realisasinya pun tidak mungkin dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan, atau hanya rekayasa semata dan tidak mengandung informasi yang valid.<br /><br />Untuk melengkapi modul ini akan dibahas lebih lanjut metode penetapan indikator kinerja dan sistem pengumpulan data kinerja pada kesempatan berikutnya. <i>See you next time...</i><br /><br />DAFTAR PUSTAKA :<br />-Inpres 7 tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Instansi Pemerintah<br />-SK Kepala LAN 239 tahun 2003 tentang Perubahan Pedoman Penyusunan LAKIP<br /></div><br /></span>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-37321616623923353272008-06-14T08:52:00.000-07:002008-06-15T20:22:37.853-07:00Opini DisclaimerSIARAN PERS <br />BADAN PEMERIKSA KEUANGAN <br /><br /><br />Belum Ada Kemajuan dalam Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara<br />”Untuk Keempat Kalinya, LKPP Mendapat Opini Disclaimer”<br /><br />Jakarta, Selasa (3 Juni 2008) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia kembali tidak menyatakan pendapat (disclaimer) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Ini berarti, selama empat tahun berturut-turut, 2004 - 2007, BPK telah memberikan opini disclaimer atas LKPP. <span class="fullpost">Opini atas LKPP yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa hampir belum ada kemajuan dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara setelah empat tahun berlakunya paket ketiga UU Keuangan Negara tahun 2003-2004, delapan tahun sejak diberikannya otonomi yang luas kepada daerah, dan sepuluh tahun setelah reformasi. Demikian dikatakan oleh Ketua BPK Anwar Nasution ketika menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) LKPP tahun 2007 kepada pimpinan DPR dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR, Senayan Jakarta, Selasa, 3 Juni 2008. <br /><br />Terdapat tujuh alasan pokok yang menyebabkan opini disclaimer pada LKPP 2004-2007, yaitu :<br />(1)Terbatasnya akses BPK atas informasi penerimaan dan piutang pajak serta biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung, <br />(2)Kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara, termasuk terbatasnya SDM pengelola keuangan di pusat dan daerah, <br />(3)Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account Pemerintah, <br />(4)Tidak adanya inventarisasi aset serta hutang maupun piutang negara, <br />(5)Sistem teknologi informasi yang kurang handal dan tidak terintegrasi,<br />(6)Kelemahan sistem pengendalian intern Pemerintah yang belum mampu melakukan reviu kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa oleh BPK, dan <br />(7)Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan terkait masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN. Kelemahan tersebut tidak memungkinkan bagi BPK untuk memberikan opini tentang risiko fiskal pemerintah dalam membiayai kegiatan pokok dan menulasi kewajiban hutang.<br /></span>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-22432831320399521422008-05-26T18:53:00.000-07:002011-09-04T20:22:06.544-07:00Gagalnya Good Governance<div align="center">
3 FAKTOR PENYEBAB GAGALNYA PENERAPAN <span style="font-style: italic;">GOOD GOVERNANCE</span></div>
<br />
<div align="justify">
Latar Belakang<br />
<br />
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah daerah untuk mewujudkan tata kelola Pemerintahan Yang Baik (<i>good governance) </i>akan tetapi hasilnya tidak sebaik yang diharapkan. Upaya tersebut menjadi semakin berat karena seringnya terjadi perubahan peraturan yang seharusnya bisa menjadi acuan. <span class="fullpost"> Peraturan yang terdahulu belum sepenuhnya diimplementasikan sudah dilakukan perubahan, dan hal ini seringkali menimbulkan kebingungan bagi pemerintah daerah yang melaksanakannya. Efek lainnya, banyak pemerintah daerah menghabiskan sumber dana dan sumberdaya yang tidak sedikit, sementara ketersediaan sumber-sumber tersebut di daerah sangat terbatas. (Kita ingat sejarah lahirnya Kepmendagri 29 tahun 2002, yang kemudian diganti dengan Permendagri 13 tahun 2006 dan terakhir direvisi kembali dengan Permendagri 59 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah). Kemudian PP 8 tahun 2003 tentang struktur organisasi perangkat daerah yang belum sempat dimplementasikan tetapi telah direvisi kembali dengan PP 41 tahun 2007, yang ternyata juga menimbulkan masalah terutama sinkrinisasinya dengan peraturan lainnya, misalnya dengan Permendagri 24 tahun 2006 tentang bentuk pelayanan terpadu satu atap).<br /><br />Permasalahan<br /><br />Dalam elaborasinya Tata kelola pemerintahan yang baik sebagai sebuah proses manajemen diawali dengan Perencanaan, Penganggaran, Pelaksanaan dan Pelaporan/pertanggungjawaban. Jika dilihat dari proses ini maka setidaknya ada 3 hal besar yang menyebabkan perwujudan <span style="font-style: italic;">Good Governance</span> menjadi tidak efektif, yaitu :<br />1. <b>Gagal membentuk model perencanaan strategik yang baik</b>. <i>Fail to plan is plan to fail</i> atau gagal membuat rencana sama dengan merencanakan kegagalan. Perencanaan akan menjadi acuan untuk melakukakn evaluasi. Jika rencana yang disusun buruk tentu tidak dapat diharapkan menghasilkan sesuatu yang baik. Penyebab utama gagalnya perencanaan adalah :<br /><ul>
<li>Perencanaan yang disusun tidak berorientasi pada masa depan (menghasilkan dan menjadi apa?), tetapi masih berorientasi ke belakang (tahun lalu sudah membuat apa saja?)</li>
<li>Perencanaan yang disusun belum menunjukan keselarasan antara yang akan dicapai (visi dan misi) dengan program dan kegiatan yang dilaksanakan. Apalagi konsistensi antara perencanaan dari tahun ke tahun berikutnya. (keterkaitan RPJP, RPJM dan RKPD lemah).</li>
</ul>
<br />2. <b>Gagal menyusun Anggaran yang Berbasis Kinerja</b>, walaupun pedoman penyusunan anggaran berbasis kinerja telah ditetapkan melalui Permendagri 13 tahun 2006 ternyata secara substansi pola penyusunan anggaran masih belum efektif. Penyebab utama adalah :<br /><ul>
<li>Belum adanya Standar Pelayanan Minimal dan Analisa Standar Belanja sehingga pengajuan Rencana Kerja Anggaran (RKA) cenderung boros dan tidak efisien.</li>
<li>RKA tidak dilengkapi target kinerja yang memadai dan akurat sehingga jumlah anggaran masih masih berpatokan pada besaran dana/input dan bukan pada capaian keluaran/output dan hasil/outcome.</li>
<li>Dampak yang ditimbulkan adalah APBD yang boros/tidak efisien atau gagalnya penyerapan APBD (SilPA yang tinggi) karena over budget.</li>
</ul>
<br />3.<b> Gagal membuat laporan yang akuntabel</b> sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada <i>shareholder</i> dan <i>stakeholder</i>. Pada masa lalu pertanggungjawaban keuangan hanya terbatas pada informasi penyerapan anggaran saja. Sehingga di masa sekarang dengan perubahan paradigma baru pemda menjadi :<br /><ul>
<li>Sulit menyusun Laporan Keuangan yang sesuai Standar Akuntansi Pemerintah dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal tersebut disebabkan oleh pengelolaan aset daerah yang tidak tertib, lemahnya pengendalian intern serta pemahaman konsep akuntansi yang rendah (<i>belum ada the best practice</i>) dalam pengelolaan keuangan daerah.</li>
<li>Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) yang tidak menunjukan capaian kinerja yang sebenarnya. Seharusnya LAKIP menyajikan tingkat capaian kinerja setiap SKPD dan Lembaga yang ada. Sehingga dapat dijadikan sebagai parameter untuk mengukur keberhasilan sekaligus alat evaluasi bagi satuan kerja perangkat daerah. Hal ini disebabkan oleh : pemilihan/penetapan indikator kinerja tidak tepat, sistem pengumpulan database daerah tidak terstruktur. Oleh karena LAKIP hanya berisi capaian realisasi atas target kinerja yang ditetapkan/dihitung pada saat laporan disusun, dengan nilai realisasi dan rencana disamakan maka hasil capaiannya selalu 100%. Sehingga data yang tersaji tidak akuntabel dan tidak dapat memberikan umpan balik untuk perbaikan kinerja kedepan.</li>
</ul>
</span></div>
<br />andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1077963127052211290.post-88907192986840756762008-05-25T05:09:00.000-07:002008-06-15T20:18:06.666-07:00Mencegah Borosnya Anggaran<div align="center">MENCEGAH PEMBOROSAN dengan ANGGARAN BERBASIS KINERJA<br /></div><br /><div align="justify">Sejak Kepmendagri nomor 29 tahun 2002 ditetapkan, di dalam ketentuan tersebut tertuang konsep penyusunan APBD dengan pendekatan kinerja. Demikian pula ketika Permendagri nomor 13 tahun 2006 lahir sebagai pengganti Kepmendagri 29,ditegaskan kembali keharusan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dengan berbagai perbaikan. <span class="fullpost">Contoh perbaikan tersebut adalah pemindahan kelompok belanja administrasi umum yang semula dikategorikan sebagai belanja tidak langsung ke dalam belanja langsung. Hal ini mengandung arti bahwa ada keharusan belanja yang semula tidak memerlukan indikator kinerja yang terukur, menjadi harus terukur. Meskipun belanja administrasi umum merupakan bagian belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan kantor yang bersifat rutin maupun pos berjaga-jaga atas aktivitas operasional yang insidentil. Dengan dialihkan kelompok belanja tersebut menjadi bagian belanja langsung maka kebebasan untuk menganggarkan dalam jumlah yang tidak rasional menjadi sulit, karena keharusan adanya penetapan target kinerja dengan indikator terukur seperti belanja langsung yang lain.<br />Pasal-pasal dalam batang tubuh Permendagri nomor 13 tahun 2006 merupakan penjabaran ketentuan dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang nomor 1 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2005 tentang Standart Akuntansi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Sebagai peraturan pelaksana yang baru, Permendagri nomor 13 tahun 2006 ditetapkan dengan maksud untuk memperbaiki kelemahan yang ada pada peraturan sebelumnya. Sehingga dalam implementasi ketentuan ini diharapkan dapat terwujud the best practice tata kelola keuangan daerah. The best practice tersebut meliputi pelayanan yang efisien (tidak boros dana dan waktu), taat azas serta lebih akuntabel. Untuk mencapai hal tersebut tentu dibutuhkan adanya komitmen yang tinggi dari para pengelolaaan keuangan daerah. Instrumen yang digunakan tidak hanya perubahan format anggaran atau dokumen yang digunakan, tetapi mencakup dasar-dasar utama penyusunan anggaran dengan orientasi hasil (output/outcome) yang nyata dan terukur. Dengan pendekatan kinerja penyusunan anggaran menjadi terukur, baik volume, satuan dan standart harga yang dipakai, sehingga dapat mencegah markup/penggelembungan biaya. <br />Dalam unjuk kerja ABK merubah pola pikir dari pertangungjawaban anggaran (baca ; SPJ) berdasarkan tolok ukur penyerapan dana (<span style="font-style:italic;">input</span>) kepada pengukuran kinerja berdasar indikator hasil (<span style="font-style:italic;">output/outcome</span>). Metode pengukuran dengan indikator input, cenderung mendorong satuan kerja menghabiskan anggaran dan berlaku boros, sedangkan pengukuran dengan indikator output/outcome, dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas karena dengan semakin hemat sumber daya yang digunakan dengan tingkat output yang sama maka capaian kinerjanya(baca ; kemanfataannya) menjadi semakin tinggi.<br />Penyusunan ABK berhulu pada perencanaan stratejik . Adapun dokumen yang disusun mencakup Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang mengerucut ke dalam Prioritas Plafon Anggaran daerah (PPA), dan dokumen APBD. Sebagai proses hilir adalah penyusunan pertanggungjawaban atas penggunaan anggaran berupa Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).<br />Jika ditelaah dengan teliti nampak adanya sikap setengah hati pada penerapan pengelolaaan keuangan daerah berdasar Permendagri nomor 13 tahun 2006. Sikap ini didasari oleh faktor ketidaksiapan pemerintah daerah dalam menerapkannya secara sungguh-sungguh, hal tersebut terjadi karena banyak pemerintah daerah belum memiliki SDM yang memadai terutama yang berlatar belakang pendidikan akuntansi. Disamping itu perubahan paradigma pengelolaan keuangan daerah yang semula bersifat sentralisasi pada bagian keuangan sekretariat daerah menjadi desentralisasi pada pengguna anggaran (baca : satuan kerja perangkat daerahSKPD), ternyata menimbulkan dampak yang luas. Antara lain perubahan struktur organisasi <span style="font-weight:bold;">pengelola keuangan</span> dalam pelaksanaan penatausahaan keuangan baik di tingkat pemda maupun satuan kerja. Demikian juga kesiapan aparat pengawasan intern (baca : badan pengawas daerah) dalam mengawal pelaksanaan anggaran juga perlu dibenahi kemampuannya dalam mengendalikan pelaksanaan anggaran di daerah.<br />Akhirnya kita semua berharap penerapan ABK sesuai Permendagri nomor 13 tahun 2006 tidak berhenti pada tataran formalitas saja, tetapi sampai pada tataran substansi yang menghasilkan format <span style="font-weight:bold;">anggaran yang terukur</span>, efisien dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan keterukuran maka pemborosan dapat dicegah dan dieliminir. Walaupun untuk mewujudkan hal tersebut merupakan kerja besar dan berat tetapi melalui upaya yang sungguh-sungguh dan niat yang tulus semoga hasil yang dicapai adalah praktek terbaik (<span style="font-style:italic;">the best practice</span>)dalam tata kelola keuangan daerah menuju Tata Pemerintahan yang Baik, bersih dan Bebas KKN.<br /><br />Selamat ber ABK.<br /><br /></div><br /></span>andreas tukiminhttp://www.blogger.com/profile/17436417355192500151noreply@blogger.com0